Sosok Seorang Syarif Hidayatullah begitu dikenal oleh warga Cirebon karena merupakan salah satu tokoh Wali Songo yang menjadi teladan hingga saat ini. Dia merupakan satu-satunya Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat yang lahir sekitar tahun 1450.
Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, beliau adalah seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai ulama besar di Hadramaut, Yaman. Bahkan silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan ibunya adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Mudaim) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja dari Nyai Subang Larang dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana. Banyak cerita mengenai karomah Sunan Gunung Jati sebagaimana diceritakan dalam Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon.
Pada suatu ketika, Syarif Hidayatullah muda hendak menunaikan rukun Islam kelima (haji) ke Baitullah. Dia dibekali oleh ibunya uang sejumlah seratus dirham. Di tengah perjalanan, dia dihadang sekelompok perampok. Tanpa basa-basi, semua uang pemberian ibunya sebanyak seratus dirham, dia berikan kepada para penyamun tersebut. Para penyamun tidak merasa puas dengan tindakan Syarif Hidayatullah, mereka menyangka bahwa dia membawa uang lebih dari sekedar yang diberikan. Mereka lalu terus memaksanya untuk memberikan harta yang dibawanya. Melihat hal tersebut, Syarif Hidayatullah malah tersenyum dan menyuruh mereka untuk melihat ke sebuah pohon.
“Ini ada satu lagi, sebuah pohon dari emas, bagilah di antara kawan-kawanmu”. Ternyata, pohon yang ditunjuknya berubah menjadi emas. Akhirnya mereka masuk Islam dan menjadi murid dari Syarif Hidayatullah.
Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa ketika berangkat dari Mesir ke Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidaklah menggunakan perahu, tetapi dia justru berjalan di atas air laut. Dalam Serat Walisana dengan langgam durma diceritakan mengenai salah satu karomah Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi saat peperangan antara Pasukan Demak dan Tentara Majapahit. Dalam peristiwa tersebut, diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah mengeluarkan surbannya dan setelah dikibaskan, maka muncul bala tentara tikus yang tidak terbilang banyaknya menyerang bala tentara Majapahit sehingga mereka panik dan berantakan.
Diceritakan juga dalam Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon (t.t.: 85-86) bahwa suatu ketika, Syarif Hidayatullah bertanya kepada Pangeran Kuningan tentang cara-cara mengIslamkan raja-raja Pasundan. Pada waktu itu Pangeran Kuningan menjawab bahwa dirinya memiliki suatu jimat yang dapat mendatangkan bala tentara yang banyak dengan cara mengumpulkan kerikil dan jamur merang yang ditetesi dengan jimat cupu tirta bala. Setelah itu tiba-tiba muncul bala tentara yang sangat banyak dan memenuhi alun-alun Cirebon. Peristiwa ini menimbulkan rasa kaget dan heboh di kalangan penduduk Cirebon setelah itu Syarif Hidayatullah membacakan doa tolak bala. Tatkala selesai berdoa tersebut, maka bala tentara Pangeran Kuningan itu seketika hilang dan kembali ke asalnya.
Selain itu terdapat cerita mengenai karomah sang Sunan saat dia pergi negeri China untuk menyebarkan agama Islam di wilayah yang bernama Nan King pada tahun 1479. Dalam upaya menyebarkan agama Islam, Syarif juga membuka pengobatan sehingga konon banyak rakyat China yang sakit disembuhkannya. Namanya makin makin terkenal hingga Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming merasa terganggu karena orang asing lebih pandai dari rakyatnya, setelah itu sang Kaisar mengundang Syarif ke istananya. Maka Dipanggilah Sunan Gunung Jati menghadap untuk diuji kemampuannya. Sang Kaisar lalu meminta agar putrinya Ong Tien seolah-olah hamil dengan meletakan bokor kuningan di perutnya hingga mirip orang yang sedang mengandung.
Kemudian dia duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak mana yang bener-benar hamil atau tidak. Lalu Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien, dan sang Kaisar pun ketawa terkekeh. Jawaban Sang Sunan adalah Putri Ong Tien sedang mengandung, jelas saja Kaisar mencemoohnya. Merasa berhasil membuktikan bahwa Sunan tidak sepandai seperti yang dikatakan orang lalu Hong Gie mengusir Syarif pulang ke tanah Jawa. Namun kemudian nyatanya diketahui bahwa Ong Tien memang hamil. Sang putri yang jatuh cinta kepada sang sunan tak kuasa untuk menahan rindu meminta izin untuk menyusul Sunan Gunung Jati yang kembali ke Cirebon. Kaisar mengizinkannya dan meminta pelautnya untuk mengantar putrinya ke Jawa. Sunan Gunung Jati pun akhirnya menikahi sang putri. Sayang, umur pernikahan mereka tak lama. Ong Tien meninggal pada usia yang masih sangat muda, 23 tahun.
Salah satu karomah lainnya adalah memindahkan Istana Kerajaan Hindu Pakuan ke alam gaib. Hal ini dilakukannya karena kerasnya penolakan para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekedar keluar dari wilayah Istana Pakuan. Cerita ini bermula saat saat jatuhnya Kerajaan Galuh Pakuan, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 karena diserang pasukan Demak yang dibimbing oleh Sunan Gunung Jati. Peristiwa ini setahun sebelum Sunan Gunung Jati wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 pada tahun 1569. Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar Istana Galuh Pakuan, Syarif Hidayatullah memberikan dua penawaran
- Penawaran atau opsi pertama, para pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar pangeran, putri atau panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing.
- Bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cirebon sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini sebagian besar para pangeran dan putri-putri raja menerima penawaran pertama, Sedangkan pasukan kawal istana dan panglimanya (sebanyak 40 orang) dari angkatan darat kerajaan Pakuan memilih penawaran kedua.
Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal Istana Pakuan, Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar. Sementara para Pendeta Sunda Wiwitan menolak penawaran pertama dan kedua. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan. Sehingga dengan karomah yang dimilikinya Sunan Gunung Jati lalu memindahkan Istana Galuh Pakuan ke alam Gaib sehingga para Pendeta Wiwitan tidak lagi berada di Istana tersebut.
Sumber : wikipedia dan sundaislam.wordpress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar